Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pura-Pura Bahagia


Jreng2 blog ku tampilannya gres and I have a new Top Level Domain (TLD) yeyeye. Setelah kemarin jual kambing satu jadinya bias beli TLD baru. Apa itu TLD? Gak tahu juga aku. Pokoknya ntar blog kita gak pakek dotblogspotdotkom lagi hehehe, tp eksklusif lebih pendek (kecuali temen2 emangg beli domain yang panjang menyerupai www.ahmadtoharigantengtakterkalahkandiduniaini.com.

OK BTW bekerjsama galau mau post apaan, tapi alhamdulillah kemaren saya sempet baca status alay ihwal “Pura-Pura Bahagia”. Enggak kok, saya gak bakal nulis ihwal diputusin pacar terus kita tetep senyum waktu ketemu beliau (yang udah sama orang lain) terus kita tetep pasang muka manis dan tersenyum, yeah actually it is fake smile with stupid face. Tapi saya mau nyeritain sesuatu yang gak ada hubungannya ama mantan, gebetan, move on atau orang utan sekalipun. OK dibaca ya hehehe

Di lingkungan saya dikenal sebagai orang yang suka banget cerita. Apapun kuceritakan, dari horror, lucu misteri, kejelekan temenku ataupun kisah Raffi Ahmad hahaha. Tapi dari semua ceritaku saya gak pernah kisah ihwal kesusahan ataupun duduk kasus yang kuhadapi dalam hidupku. Jadinya temen2 ku cuma tahu kisah ihwal suka ku dan gak pernah tahu kisah ihwal sedih yang kualami. So, gak jarang sih temen2 sering nyablak “Enak Har, hidupmu gak pernah susah gak kayak aku”. Hahaha dalam hati saya ketawa (kadang jengkel juga sih). Mereka gak tahu gimana usaha ku supaya bias kuliah, mulai dari pagi hari nderes karet, habis itu ketika capek belum ilang harus siap2 berangkat kuliah. Mereka juga gak pernah tahu gimana rasanya ngerjain kiprah sociolingustics ama grammar di pinggrir kali malem2 sambil nungguin diesel takut diangkut orang. Ya emang sih itu salahku juga, tapi emang saya gak suka nyeritain duduk kasus ke temen2. Kayak gak punya kisah lain aja.

Sebenarnya awal dari kebiasaanku itu dulu ketika saya masih SMA. Aku punya seorang teman, sebut saja namanya Parman. Keriting, kulit gelap dan tinggi kurus. Dia gres saja pindah. Dulunya beliau tinggal bersama neneknya. Dan kudengar neneknya meninggal, jadi beliau harus kembali ke keluarganya. Dia sama denganku, sama masih Sekolah Menengan Atas seharusnya.

Malam itu menyerupai biasa, sesudah shalat jama’ah maghrib di adu (surau) kami (temen2 pemuda didesaku) ngumpul2 di teras masjid. Kami memang sering kumpul2 cuma untuk bercerita, tapi bukan nggosip. Aku bercerita ihwal PENSI yang diadakan di sekolahku, sedangkan temanku yang lain kisah ihwal rumput hijau di desa seberang, atau kisah ngangon sapi mereka (emang sih, gak semua teman2ku sanggup melanjutkan sekolah denganku.

Dan tiba giliran Parman bercerita, gak banyak sih yang ia ceritakan. Ia menceritakan ihwal pengalaman masa kecilnya pergi ke way kambas bersama keluarganya. Dia naik gajah, beli kaos yg ada gambar gajah, obat nyamuk gambar gajah, dan jika tidak salah martabak (yg ini gak ada gambar gajahnya). Dia juga menambahkan kalo beliau juga berfoto dengan gajah. Kami semua cukup antusias dengan kisah dia. Tak usang kemudian waktu isya’ telah tiba dan sesudah shalat isya’ kami semua kembali ke rumah masing2.

Keesokan harinya acara kami masih sama, kaya ngomongin cewek disana, modif motor ataupun ada pentas jaranan hahaha. Parman kali ini beda, beliau kisah jika beliau dulu waktu tinggal dengan neneknya pernah kehilangan seekor ayam. Padahal ayam itu satu2 nya ayam neneknya. Namun 2 hari kemudian ayam itu kembali tapi dengan kaki yg pincang. Neneknya senang sekali namun juga sedih. Dia tidak tega melihat ayam itu dalam keadaan pincang. Akhirnya neneknya menyuruh Parman memotongnya kemudian neneknya menciptakan opor dari ayam tersebut. Karena ayam tersebut ayam andal besar, maka dagingnya pun banyak. Akhirnya neneknya dan Parman memberi para tetangga ayam2 tersebut. Begitulah, Parman bercerita dengan sangat gembira. Aku dan kawan2ku yg lain juga ikut tertawa mendengar kisah Parman (meski gak ada yg lucu sih). Dan sperti biasa sesudah bercerita kami semua pulang kerumah masing2.

Saat itu pertengahan bulan April, artinya sudh memasuki animo panas. Dan pada ketika itu juga sedang animo panen padi. Aku dan teman2ku pun ikut membantu manen padi, tapi bab kami hanya membawa gabah2 (padi yg sudah dipanen tapi belum jadi beras) itu pulang kerumah. Ketika itu saya dan kawan2ku termasuk Parman kesawah untuk membantu membawa padi. Tapi kami tiba terlalu cepat, padi2 itu belum selesai. Akhirnya kami duduk2 sambil menunggu padi2 itu dikarungin. Ketika duduk2 ngumpul Parman bercerita dulu beliau dengan neneknya punya pengalaman lucu. Mereka dulu pernah disuruh membantu memanen padi milik tetangganya. Neneknya dan Parman berangkat pagi2 sesudah shalat shubuh, ya waktu itu para pekerja yang memanen padi juga belum berangkat. Sampai para pemanen datang, Parman dan Neneknya sudah sanggup banyak dan ternyata mereka salah sawah. Sawah yang mereka ambil ternyata bukan sawah yang mereka mau panen. Kami semua tertawa mendengar kisah parman.

Bulan2 selanjutnya Parman sudah usang berteman dengan kami. Tapi kami mulai jengkel dengan parman, bagaimana tidak. Ketika kita semua kumpul2 Parman hanya bercerita ttg Way kambas, kisah memotong ayam ataupun salah panen. Selalu itu saja. Kami bosan dan kadang ketika Parman mau kisah kami malah sibuk sendiri seolah tidak mau dengar kisah dari Parman. Berulang kali beliau kisah menyerupai itu.

1 tahun berlalu, saya kini kelas 12 SMA. Suatu ketika saya disuruh ibuku mengantarkan udang dari tambak kerumah Parman. Waktu itu pukul 19:00 malam dan gemuruh bunyi petir menggelegar tapi ya saya nekat aja, rumahku dengan rumah Parman juga gak jauh2 amat.

Akhirnya saya hingga dirumah Parman, saya masuk disambut oleh ibunya Parman. Parman sendiri tengah mengajari adiknya yang masih SD mengerjakan PR. Ayahnya Parman udah gak ada. Enggak, bukan meninggal kata Parman. Kata ibuku juga saya gak boleh tanya2 soal Ayah Parman ke ibunya, Cuma nambah sedih aja. Aku gak ngerti ada apa dengan ayah Parman tapi tampaknya Ibuku serius dengan ucapannya.

Segera kuberikan udang itu. Ibu Parman senang sekali dengan udang yang kuberikan. Setelah itu Parman berterimakasih padaku. Setelah itu hujan turun deras banget, saya mau pamitan tapi dihentikan oleh ibu Parman alasannya hujannya deras dan anginnya kencang. Aku disuruh menginap. Baiklah saya meniyakan, saya juga belum pernah nginap di rumah parman. Aku segera SMS ibuku kalo saya mau menginap di rumah Parman dan ibuku mengizinkan.

Setelah itu saya ngobrol dengan ibu parman ihwal sekolahku, tambak, bahkan sempet nanyain pacarmu yang mana. Karena asyuk tak terasa udah jam setengah sebelas malam. Aku dan Parman jadinya pergi kekamar tidur Karena kami memang sudah mengantuk sekali.

Aku tercengang dengan kamar Parman, isinya hanya sebuah dipan sempit, dan dipojok kamarnya ada banyak koran bekas, ketika parman kutanya untuk apa koran sebanyak itu Parman menjawab katanya kalo ada waktu senggang buat dibaca2 aja. Gak ada lemari baju di kamar Parman, Karena mungkin lemari baju Parman bergabung (buka megazord tapi. Maksudnya baju Parman dan ibunya jadi satu dalam satu lemari gitu).

Kami tak banyak kisah ketika mau tidur dan jadinya kami tertidur juga.

Entah berapa usang saya terjaga, kulihat jam arlojiku masih pukul dua pagi. Tapi kulihat Parman sudah tidak ada disampingku. Aku keluar kamar yang kutemui hanya ibunya Parman, ketika kutanya Parman kemana. Katanya beliau ke pasar sayur mengantar daun singkong dan bayam dari kebunnya untuk dijual. Karena kalo kesiangan ntar gak laku. Kata ibunya tiap har ya kaya gitu, jam 02 pagi sudah berangkat ke pasar buat jual sayur, kadang kalo gak punya yg dijual mereka membantu menjualkan sayur para tetangga. Haaa tiap hari jam 02 pagi harus kepasar sayur. Padahal pasar sayur itu ada kalo 8 km dari desa kami, dan Parman melakukannya tiap hari? I’m not sure that I’ll be survive on that condition.

Jam 05:30 Parman udah pulang dari pasar sayur, “Eh udah bangkit kau Har!” sapanya. Aku cuma sanggup senyum. Parman kemudian istirahat sebentar kemudian minum segelas teh hangat yang dibentuk oleh dirinya sendiri. Aku gak banyak tanya atau bicara dengan parman, alasannya kutahu beliau kecapekan. Tapi selanjutnya saya kaget. Parman dan ibunya bersiap2 menuju pinggir kali, katanya sih mau nenok plus nyiramin bayam dan singkong tanamannya. Aku membisu saja, kemudian saya pamit pulang sebelum mereka berangkat kira2 pukul 06:00 pagi.

Sampai di rumah saya segera bersiap2 ke sekolah. Di sekolah saya kepikiran ihwal sebegitu susahkah kehidupan Parman. Bahkan ketika disuruh keliling lapanagan alasannya gak sanggup ngerjain soal kimia saya juga tetap kepikiran ihwal Parman.

Sepulang sekolah saya segera keumah Parman, tapi Parman udah gak di rumah. Ibunya parman sedang bekerja sebagai buruh cabut rumput di ladang tetangga. Sedangkan Parman sedang mencari rumput untuk ke 3 sapi yang dipeliharanya. Bukan, sapi itu bukanlah milik Parman, tapi milik para tetangga yang dipelahara oleh Parman. Aku pulang kerumah alasannya tidak bertemu Parman.

Maghrib jadinya datang, menyerupai biasa saya dan teman2 (termasuk Parman) berumpul di teras masjid ya Cuma untuk nggedubuk (cerita ngalor ngidul) gak jelas. Giliran parman ahirnya bercerita. Ya sanggup ditebak, beliau becerita ihwal liburannya di way kambas. Teman2 ku semua kelihatan bosan dan ogah mendengarkan kisah parman alasannya kisah itu udah diceritain ratusan kali, mungkin.

Sepulang shalat Isya’ saya menemui Parman. Aku bertanya kenapa beliau sering banget nyeritain ttg way kambasnya, motong ayam atau salah manen padi. Padahal saya yakin berbagai kisah di kehidupan dia. Parman menjawab, “Memang berbagai yang terjadi dalam hidupku Har, tapi saya hanya mau kisah yang senang2 saja, dan Cuma 3 kisah menyenangkan itu yang saya ingat, ingat Har, sebuah anggun tidaknya sebuah kisah itu bergantung pada penceritnya, saya hanya ingin bercerita yang senang2 alasannya saya mau ketika ada seseorang menanyakan ihwal kisahku kepada kalian, kalian akan berkisah ihwal kehidupan yang bahagia.” Aku terdiam, dan berpikir dalam.

Esoknya ketika kita bercerita dan Parman bercerita ihwal way kambasnya dan lain2 saya tidak lagi bosan mendengarnya, tapi dengan serius kudengarkan walaupun dalam hati saya pengen nangis.

4 bulan berlalu, saya juga udah Ujian Nasional, pagi itu ketika saya akan berangkat sekolah buat maen2 doang (kan abis UN jadi ya kesekolah tinggal maen2 aja) saya denger kabar kalo Parman mau pergi ke Serang untuk kerja. Aku segera kerumah Parman, dan kutanya kenapa kok mendadak sekali. Dia jawab sebenernya gak mendadak, Cuma beliau gak kisah aja. Aku membantunya menaikkan ransel ke mobil. Setelah itu beliau pamitan kepada ibu, adiknya dan para tetangga sekitar. Lalu yang terakhir kepadaku, namun bukan kalimat perpisahan yang saya dengar darinya.

“Har jadinya saya punya banyak kisah senang yang sanggup saya ceritakan kepada orang2 di Serang, kisah ihwal kalian, teman2 disini. Makasih banyak lho.” Aku diem gak jawab alasannya ya ga tau lagi mau jawab apaan.

Sekarang parman kayaknya udah senang disana, ibunya juga ikut pindah kesana. Dan ketika kutelepon kebiasaannya gak pernah berubah. Dia gak pernah mau kisah ihwal masalah2 atau bencana buruk yang menimpanya tapi ada satu hal yang berubah, kisah beliau jadi banyak dan pastinya gak ngulang2 kisah bahagianya lagi.

Well, hingga kini saya ngikutin parman, gak pernah kisah susahku kepada orang lain. Orang lainnya mah tahunya saya selalu senang.

Nah begitulah kisah panjaaaaaaaaaaaaangku, apakah ini kasatmata atau tidak. It depends on you, but I hope ada pelajaran yang sanggup temen2 petik dari kisah diatas.

Kebenaran dari sebuah kisah tergantung kepada penceritanya. Entah itu kisah akan jadi kisah bahgia, sedih atau garing sekalipun tergantung pencerintanya. Ok hingga jumpa lagi di lain kesempatan.