Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review : 22 Menit


“Angkasa, monitor, angkasa, monitor, telah terjadi ledakan dan kontak senjata.” 

Pada 14 Januari 2016 silam – tatkala masyarakat ibukota tengah disibukkan oleh rutinitas harian – Jakarta mendadak diguncang oleh serentetan ledakan bom di daerah Thamrin. Satu bom meringsekan pos polisi, bom lainnya mengoyak kedai Starbucks yang berada di Sarinah. Imbas dari bencana ini, delapan orang dinyatakan tewas dengan perincian empat warga sipil dan empat pelaku penyerangan. Pihak kepolisian lantas bergegas menurunkan personilnya untuk melumpuhkan para teroris yang belakangan diketahui berasal dari kelompok Bahrun Naim dan terafiliasi secara pribadi dengan ISIS. Yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai, Polisi Republik Indonesia hanya membutuhkan waktu kurang lebih 22 menit untuk meringkus para pelaku. Fakta kecil ini dibeberkan oleh duo sutradara Eugene Panji (Cita-Citaku Setinggi Tanah, Naura dan Genk Juara) dan Myrna Paramita dalam film garapan mereka bertajuk 22 Menit yang terinspirasi dari kejadian pengeboman tersebut. Mendapat sokongan penuh dari Polisi Republik Indonesia selama menjalani masa riset dan tahapan produksi ini, film bertipe PSA (public service announcement) ini tak saja mencoba menghadirkan tontonan untuk menggugah rasa kemanusiaan tetapi juga diniatkan untuk mengapresiasi kinerja cekatan polri dan membangun kesadaran publik terhadap pertumbuhan kelompok terorisme yang kian masif di negeri ini. 

Dalam merekonstruksi ulang bencana Thamrin dalam 22 Menit, Eugene Panji dan Myrna Paramita memecah fokus penceritaan ke dalam empat sudut pandang berbeda yang masing-masing mewakili kisah seorang anggota unit antiterorisme berjulukan Ardi (Ario Bayu), seorang polisi kemudian lintas berjulukan Firman (Ade Firman Hakim), seorang office boy berjulukan Anas (Ence Bagus), dan seorang karyawati berjulukan Dessy (Ardina Rasti). Sebelum keempat kisah ini dipertautkan oleh ledakan bom di Thamrin, penonton memperoleh sekelumit latar belakang yang menceritakan wacana kehidupan pribadi keempat aksara ini serta kronologi berkumpulnya para aksara ini di TKP. Ardi diceritakan telah mempunyai keluarga kecil dan hari itu diawalinya dengan mengantar si buah hati ke sekolah, Firman yang hendak melangsungkan komitmen nikah tengah dirundung kegalauan karena tunangannya tiba-tiba membuat jarak, Anas berusaha membantu sang abang untuk mendapat pekerjaan sesudah kegagalan perjuangan yang kesekian kalinya, dan Dessy sedang terburu-buru mengendarai kendaraan beroda empat demi menghadiri sebuah rapat penting. Sebagian dari mereka alhasil bertemu satu sama lain – tanpa disadari atau tidak – dikala Firman menilang Dessy alasannya melanggar peraturan berkendara dan tak berselang usang terjadi ledakan bom yang kemudian menyatukan keempat aksara berbeda latar belakang ini. 



Untuk sesaat, 22 Menit membawa ingatan saya melayang ke Vantage Point (2008). Dalam film tersebut, narasi terbagi ke sejumlah perspektif beberapa aksara yang nantinya bermuara ke satu pokok permasalahan: upaya pembunuhan seorang presiden. Mengingatkan juga pada film klasik Rashomon (1950), teknik bercerita menyerupai ini seolah mengajak penonton untuk ikut berpartisipasi dalam memecahkan satu masalah dengan mendengar atau melihat kesaksian berbeda-beda dari beberapa aksara yang terlibat secara langsung. Sungguh menarik terlebih ada misteri besar yang membutuhkan pengungkapan. Ada urgensi yang terpampang konkret dibalik pilihan kreatif ini, meski Vantage Point sendiri alhasil bermasalah menapaki pertengahan durasi alasannya terasa repetitif. 22 Menit yang mengadopsi gaya penceritaan tersebut di separuh awal demi menjabarkan kronologi berkumpulnya para aksara utama ke lokasi ledakan pun mengalami duduk masalah serupa dengan Vantage Point. Pembedanya, duduk masalah tersebut mengemuka sedari awal alasannya sejatinya 22 Menit tidak mempunyai urgensi untuk diceritakan dengan teknik ini. Mereka semua mempunyai permulaan yang sama, tamat yang sama, dan tidak ada sudut pandang signifikan dari masing-masing karakter. Jika demikian, kenapa keempat kisah ini tidak disampaikan secara beriringan saja sehingga dikala kejadian ledakan terjadi muncul dampak lebih besar yang menghujam emosi penonton? 
Keputusan kreatif ini sedikit banyak menggerus greget yang dipunyai oleh film. Lebih-lebih, Husein M Atmodjo beserta Gunawan Raharja selaku penulis skenario tidak memberi porsi berimbang bagi para aksara kunci. Kita cukup mengenal Firman dan Anas alasannya keduanya mempunyai konflik, akan tetapi kita tidak cukup mendapat klarifikasi perihal Ardi dan Dessy yang hanya kita kenal sebagai anggota unit antiterorisme dan karyawati. Tidak pernah lebih. Alhasil, sulit untuk bisa benar-benar terhubung atau berempati kepada mereka karena naskah hanya menyediakan sedikit ruang bagi para aksara untuk tumbuh berkembang. Padahal ada potensi terciptanya momen emosional yang merobek hati andai kisah keempat insan ini digali lebih mendalam. Yang juga luput disorot oleh 22 Menit yakni latar belakang para teroris. Dalam sebuah konferensi media, Eugene Panji memang pernah menyatakan bahwa dirinya enggan membahas mengenai kelompok Bahrun Naim demi menghindari kontroversi mengingat ada sangkut paut agama di dalamnya (sekadar informasi, Eugene pernah terseret kontroversi akhir Naura dan Genk Juara yang dituding melecehkan Islam). Hanya saja, mengingat sebagian jiwa 22 Menit berpijak di koridor fiksi, tidak ada salahnya latar belakang tersebut ‘dipalsukan’ mengingat klarifikasi ini terhitung penting untuk mempertegas pesan yang hendak disampaikan serta sebagai pengantar menuju resolusi dalam film yang cenderung out of nowhere mengingat penonton tidak dibekali isu sebelumnya. Rasanya gemes gitu.


Beruntung 22 Menit masih mencuri perhatian di sektor laga. Ditunjang oleh musik gubahan Andi Rianto yang dentumannya efektif dalam menguarkan nuansa mencekam, polesan imbas khusus dari Geppetto Animation, serta gerak kamera oleh Aga Wahyudi bersama Jimmy Fajar, penonton bisa mencicipi kengerian kala bom meledak dilanjut tembak-tembakan di ruang terbuka antara polisi dengan teroris. Penonton juga bisa mencecap keseruan agresi para pengejaran para teroris di dalam gedung perkantoran, sekalipun upaya untuk patuh pada fakta (sesuai judul, Polisi Republik Indonesia bisa meringkus pelaku dengan gampang hanya dalam waktu 22 menit) sedikit menurunkan intensitas alasannya Ardi bersama rekan-rekannya sesama polisi tidak memperoleh perlawanan yang sengit dari lawanan. Keengganan si pembuat film untuk membeberkan profil satu-dua pelaku, termasuk dengan tidak memberinya segmen sendiri, juga besar lengan berkuasa pada greget di titik puncak yang urung melambung lebih tinggi karena penonton tidak pernah mengenal siapa lawan yang dihadapi oleh jagoan-jagoan kita – mereka hanyalah aksara figuran yang telah ditakdirkan untuk mati. Andai saja pihak pembuat film menawarkan porsi penceritaan yang mumpuni untuk barisan karakternya, menambah kuota durasi yang hanya 71 menit demi mengorek duduk masalah lebih mendalam dan bersedia memberi bocoran terkait resep penangkapan yang berjalan mulus (saya berharap adegan penyusunan taktik lebih dikulik) sekaligus membeberkan identitas para pelaku, bukan mustahil 22 Menit akan bisa tersaji tidak hanya sebagai gelaran tubruk yang lebih solid tetapi film PSA yang efektif. Khalayak ramai akan mengagumi kinerja Polisi Republik Indonesia dan menyadari bahwa bibit-bibit terorisme telah banyak tersebar di sekitar kita.

Acceptable (3/5)