Review : Sajen
“Tiap orang yang bunuh diri di sini, niscaya dikasih sajen.”
Telah cukup usang rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film menakutkan sehabis enam tahun terakhir menentukan untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah Sekolah Menengan Atas swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar menyerupai Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak menyerupai “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat merasakan Sajen yaitu tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan berkelahi pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti problem perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan dewasa berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen.
Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik Sekolah Menengan Atas Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa bencana telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas masalah perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak hening sehingga peristiwa-peristiwa menakutkan masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di Sekolah Menengan Atas tersebut, menyadari penuh perihal hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat kontribusi penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun hasilnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan beliau mabuk, kemudian tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapat beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun membuat gelombang teror yang lebih besar di Sekolah Menengan Atas Pelita Bangsa.
Sajen sejatinya mempunyai potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas kemudian dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti efek perundungan, Sajen bisa tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton sanggup bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap beliau berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh murung (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua abjad ini ketiban apes, cita-cita melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan indera pendengaran (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan.
Saking memprihatinkannya, saya hingga tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya kolam Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat acara mistik di depan mata ini. Mereka hanya bangkit mematung tanpa mulut seperti apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menawarkan reaksi, maka itu yaitu saya yang termenung saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu sebab ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi kolam Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di Sekolah Menengan Atas Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf meliputi poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau mempunyai keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jikalau tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan ketika menyaksikan empat hantu tiba beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid Sekolah Menengan Atas Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka gotong royong yaitu alien berkedok insan menyerupai dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?
Poor (2/5)